Shopping Cart
Your Cart is Empty
Quantity:
Subtotal
Taxes
Shipping
Total
There was an error with PayPalClick here to try again
CelebrateThank you for your business!You should be receiving an order confirmation from Paypal shortly.Exit Shopping Cart

TALENTA ORGANIZER

  Art Dealers & Management

Blog

Dari Pameran Seni Rupa DINDING dalam rangka hari jadi Plaza Indonesia ke 32


Dinding

*Pada Sebuah Dinding*

Mendengar kata dinding, apa yang langsung anda ingat? Lagu "Cicak di dinding" barangkali,q atau versi Inggrisnya "The Wall" yang lekat dengan sebuah lagu rock terbilang fenomenal sekaligus monumental itu. Atau malah teringat pada dinding pemisah ideologi bernama Tembok Berlin di Jerman atau bahkan Great Wall di China. Apa pun ingatan anda tentang diinding ternyata bergantung pada subyektivitas dan juga umur anda.

Ketika saya tanyakan pertanyaan yang sama pada anak muda, anak milenial, anak generasi Z tepatnya, jawaban mereka sungguh menarik. Mereka bilang dinding itu menunjukkan identitas kita. Lho? Saya sempat bingung,... oh ternyata mereka menterjemahkan dinding sebagai wallpaper di gadget atau gawai, perangkat digital yang merupakan akun mereka.

Nah, soalan dinding atau The Wall inilah yang menjadi tema utama pada pameran kali ini. Sebuah pameran tahunan, juga sebuah peringatan ulangtahun ke 32 Plaza Indonesia. Ruang publik berbentuk Mall terkemuka ini terbukti selalu mendukung seni karya seniman Indonesia. Pada kesempatan ini menampilkan 32 karya dari 18 perupa yang terkemuka pula.

Tulisan pendek ini akan mencoba menelisik hubungan antara dinding dengan karya rupa dan juga degan kiprah dan kepedulian PI terhadap perkembangan seni budaya di Indonesia khususnya senirupa. Kita mulai dari yang paling sederhana namun nyata; seluruh karya terdebut pastinya akan didisplay alias terpajang di dinding PI. Menariknya peristiwa itu sama sekali tak terhenti, bahkan ketika pandemi. Tercatat pada tahun 2020, di ulangtahun ke 30 dan juga awal terjadinya pandemi. Lalu ditahun berikutnya 2021 di peringatan ke 31 di tengah pandemi dan tahun ini, di perayaan ulangtahun yang ke 32, tatkala pandemi belum benar usai --bahkan dibayangi ganasnya varian omicron-- peristiwa budaya penting ini tetap terselenggara dengan baik.

Realita di atas adalah bukti betapa erat kaitan antara ketiganya; dinding, karya rupa dan Plaza Indonesia. Dan kita akan melihat lebih lagi manakala menyaksikan karya *LIni Natalini Widhiasi*, berjudul *"Di Hutan KIta Kembali Pada Akal dan Iman"* sebuah karya unik berbahan alumunium dan metal paint. Berbagai lempengan yang disusun sedemikian rupa sehingga nampak artistik penuh warna dinamis. Ia tak sekadar menggantung pada dinding, malah telah berhasil melumat dinding. Dengan kata lain ia mampu melewati dinding yang ada di jantung kota Jakarta dan langsung membawa kita ke hutan belantara.

Pada *"Percakapan Akhir Tahun"* lukisan karya *Maslihar Panjul*, sangat bisa jadi kita tidak mampu mendengarnya secara fisik. Namun sangat percaya bahwa pasti ada yang mampu mendengarnya dengan seksama, sebab ada ungkapan, "dinding pun bertelinga"

Sebagaimana Lini, lukisan acrylic di atas kanvas *"Balance of Nature #2"* karya *Ernanta Item* juga mengajak kita untuk kembali menjaga keseimbangan alam. Menggambarkan gunung ungaran, hutan lindung, sembilan artefak candi gedong songo dan sembilan burung.

Lagi-lagi ketiadaan dan atau peniadaan dinding justru menjadikan segalanya lebih menyenangkan. Lihatlah itu pada *"Happy Day Series"* karya *Indra Dodi* Tergambar jelas senyum dan kebahagian mengembang di setiap obyek atau subyek lukisan bernuansa warna cerah ceria ini.

Meski sama-sama berwarna ceria, lukisan *Erianto a k a Mak Etek* berjudul *"Space of Life"* justru berbicara sebaliknya; tentang adanya batas/dinding/pemisah yang tegas antara hitam dan putih. Pemisahan/pembedaan/pengkotakan adalah keniscayaan dalam kehidupan ini. Namun nyatanya ia tak cukup mampu menghalangi yang hidup di dalamnya untuk saling melintas demi berbaur bersama.

Lewat *"The Best Offering"* *Deddy PAW* ingin menyatakan bahwa sudah seharusnya manusia memberikan persembahan terbaik bagi Penciptanya. Metafora naratif itu ia tunjukkan melalui 9 varian buah apel, kupu-kupu dan abstraksi air yang bergemuruh serta aneka

simbol (agama) yang ia tuliskan secara dua dimensi, bagai menulisi dinding yang rata pada lukisannya.

Ada sebuah gambar yang dibagi menjadi 5 bidang atau sebaliknya ada 5 bidang yang disatukan menjadi sebuah gambar besar. Tidak penting yang mana, yang jelas ada pemisah antara 4 gambar yang mirip dan satu gambar yang berbeda. Pemisahan atau penyatuan ini demi menunjukkan adanya perbedaan itu. Demikianlah cara *AT Sitompul* menyampaikan gagasannya melalui karya berjudul *"Be Somebody"*

*Teguh Sariyanto* meletakkan berbagai benda pada sebuah dinding atau latar berwarna kecoklatan. Beberapa dapat kita kenali sebagai benda tertentu. Selebihnya tidak jelas itu benda apa. Bukanlah sebuah soal, karena si pelukis mengisyaratkan persuasi yang menuntun kita untuk menyusun kumpulan benda tersebut membentuk sesuatu, sebagaimana judulnya, *"Benda Benda Membentuk #46"*

Lain lagi *Ary Kurniawan*, judulnya *"Cerah"* warna pilihannya pun juga cerah pula. Menggambarkan lelaki muda dengan baju hijau. Di latar belakang nampak hujan deras berlatar biru. Hujan kok dikatakan cerah? Ah barangkali karena ia terlindung oleh dinding anti bocor-bocor maka urusan di luar bukanlah urusannya asalkan ruangnya tetap cerah tanpa basah.

Saya menemukan kembali kumpulan aneka bentuk dan atau benda disusun repetitif dalam spasi yang kurang lebih sama. Judulnya pun sama persis dengan pelukis sebelumya, *"Benda Benda Membentuk"* meski tanpa nomor seri. Kali ini karya *Raka Hadi Permadi*. Uniknya "kemiripan" ini juga terdapat pada cukup banyak karya pelukis lainnya. Tidak 100% sama, namun memiliki pola penataan obyek yang disusun dalam jarak tak terlalu berjauhan alias agak rapat dengan bentukan dan warna bercenderungan satu nuansa. Adakah ini ciri utama style atau gaya melukis termutakhir? Hingga Plaza Indonesia sengaja mengumpulkannya dalam satu dinding pameran?

Rasanya "tuduhan" saya tak terlalu berlebihan. Pada dua lukisan *Soni Irawan*. *"Fly with Zorro"* dan *"Follow The Zorro"* saya juga membaui pengulangan bentuk. Meski sekali lagi bukan sama persis namun jejak visualnya masih terkesan mirip. Namun lagi justru itulah kekuatan karya a la street art ini. Keliaran goresan spray paintnya sangat terasa.

Walau juga melakukan pengulangan bentuk, tapi menurut saya *Arief Dhiyaurrahman* bukan mengamalkan repetisi. Melainkan bahwa kereta roller coaster memang tak mungkin digambarkan tunggal. Pun gedung bertingkat di belakangnya serta konstruksi besi baja penyangganya memang mengandung pengulangan. Ini kebutuhan. Secara visual ada unsur itu tapi narasi yang diperlukan untuk membunyikan lukisan berjudul *"Ordinary Life"* cukup mencocoki.

Di lukisan karya *Asmoadji* saya tidak menemukan pengulangan lagi. Ia lebih banyak mengisi bidang dinding kanvasnya dengan goresan yang flat. Datar tapi penuh warna. Senada dengan itu adalah karya *Dicky Prasetyo*. Terutama pada karya yang berjudul *"Harmonious Couple"*

Pada *"Kucing Hutan dan Buaya Bermain di Pinngir Danau di Tepi Desa"* *Agung Pekik* mencoba mengajak kita untuk bermain dengan logika. Sebagaimana kebanyakan lukisan atau grafisnya yang selalu rumit dan terperinci. Ditailnya sungguh mempesona. Ditail yang tak kalah asyiknya adalah karya *Don Bosco Laskar* berjudul :

*"Ajakan di Musim Pancaroba"*

*Heru Priyono* dengan *"Magic Breakfaatnya"* punya daya ganggu lumayan kuat. Perhatikan pemilihan obyek makanannya. Sebuah temuan yang tak biasa. Dan terakhir *MA Roziq* cukup puitis dengan dua karyanya yang berwarna menyala.

Dari 32 karya 18 perupa di pameran ini, saya mendapati semacam simpulan tema "Dinding" yang ditawarkan kepada peserta oleh Talenta Organizer atau bahkan oleh Plaza Indonesia sendiri adalah pilihan cerdas. Terbukti mampu menghasilkan ragam karya yang kaya. Bahwa ada beberapa yang punya kesukaan sama melakukan repetisi tak terhindarkan. Barangkali, sebagaimana saya asumsikan di muka ini adalah semacam trending topic. Apa pun itu, pameran layak diapresiasi dengan antusias.

Yogyakarta, 27 Februari 2022

*Yuswantoro Adi*

Pelukis yang Menulis Seni Rupa.

Dari Pameran REPOSISI kelompok Liquid Maret 2022

REPOSISI : Episode Sebuah Tanda

Seni rupa kontemporer sesungguhnya masih menjadi sebuah mitos untuk menjadi semacam pendulum--sebagai tolok ukur penentu karya lukisan itu laku atau tidak--dari praktek manajemen seni di indonesia. Dalam situasi hegemoni semacam ini, kelompok seni rupa LIQUID COLOUR hadir dalam sebuah pameran yang diikat dalam sebuah tajuk REPOSISI, di Pop Up Gallery Talenta, Plaza Indonesia, Jakarta Pusat, 3 Maret sampai 3 April 2022.

Pameran ini lebih tepat adalah menjadi sebuah upaya dari empat perupa yang tergabung dalam Liquid Colour untuk penjelajahan estetik dalam menentukan tanda untuk posisi mereka dalam peta seni rupa Indonesia. Dimana seni rupa hari ini yang semakin terbuka dan identik dengan industrial art. Disamping mereka juga harus berani menentukan tanda menunjukkan posisi pentingnya pemikiran. Dimana belakangan ini sering muncul anggapan pemikiran sering terpinggirkan oleh kepentingan seni industri itu sendiri.

Dalam sejarah perkembangan seni, khususnya seni rupa, keberadaaanya tidak bisa dipisahkan dari hubungannya dengan realitas. Apakah ia tiruan ikonik dari realitas atau representasi dari realitas. Atau apakah justru ia adalah realitas itu sendiri. Inilah yang kemudian menimbukan suatu ‘tanda’ dalam kekaryaan seni, khususnya seni rupa. Tanda diperlukan manusia untuk bisa memaknai sesuatu dengan baik.

‘Tanda’(Sign) adalah segala sesuatu yang mengandung makna, yang memiliki unsur penanda (bentuk) dan petanda (makna). Masing-masing personil Liquid Colour berusaha membawa tanda ini ke dalam karya-karya mereka. Representasi posisi mereka yang bisa dibilang sudah lama di dunia seni rupa mereka pertahankan dengan ‘tanda’ dalam karya-karya mereka.

Dan di saat dunia dalam cengkeraman Pandemi Covid-19, dan saat ini masuk di tahun ke-3, Choirudin Roadin, Endrobanyu, Muji Harjo dan Sigit Raharjo bukan hanya semata-mata berupaya mempertahankan posisi dalam seni rupa Indonesia. Keempat perupa Liquid Colour ini tentu juga melontaran ‘tanda’ berupa gagasan dan pesan penting yang patut digarisbawahi. Mereka hadir untuk menunjukkan bahwa mereka tidak sekadar larut dalam seni industri yang berkembang hari ini. Mereka menunjukkan bahwa mereka memiliki ideologi dalam berkarya.

Liquid Colour sebuah kelompok yang belum lama berdiri, akan tetapi kemunculannya cukup menjadi perhatian dalam perkembangan seni rupa indonesia. Sejak pameran pertamanya pada tahun 2017 silam, kelompok ini selalu menghadirkan karya kolaborasi. Dan tentu kelompok yang terdiri dari empat perupa ini, yang kebetulan setiap anggotanya mempunyai ciri khas di setiap karya-karyanya. Maka, ketika hadir melalui karya kolaborasinya, menjadikan satu kekuatan dan pembeda dengan kelompok seni rupa lainnya. Kehadirannya hari ini, walaupun tanpa menghadirkan karya kolaborasi seperti pameran sebelumnya. Mungkin saja ini adalah sebuah strategi untuk memposisikan diri dalam persentuhan hari ini.

Choirudin Roadyn hadirkan lukisan figur manusia dan binatang, yang ditampilkannya dengan cita rasa artistik yang khas. Ia bermain-main dengan brushstroke dan warna-warna yang dinamis. Setiap objek yang dilukisnya, ia hadirkan dengan adegan penuh cerita. Ia seperti memainkan kutipan-kutipan sejarah dan pengetahuan yang terus bergerak. Lihat saja bentuk-bentuk lingkaran bertabur di kanvasnya. Seolah seperti butiran-butiran udara yang terus bergerak membawanya dalam lingkaran-lingkaran kehidupannya yang seperti udara. Mampu masuk kemana saja dan mudah menyesuaikan.

Endrobanyu, lelaki yang teles (bertangan basah). Dalam karyanya ia menampilkan figur yang dikoyak dengan sapuan brushstroke secara kuat dan acak. Seolah ingin menunjukkan energi, yang bukan saja sekadar sebagai upaya meraih artistik dan estetik semata. Butiran-butiran air yang menjadi identik dengan karya-karya juga tak sekadar sebagai syarat sebuah keindahan yang ia tawarkan. Endro juga tidak sekadar menyajikan falsafah air dalam setiap karyanya. Air baginya adalah dirinya. Endro lahir dari pegunungan kapur, tak jauh dari Gua Selarong tempat bersembunyi Pangeran Diponegoro. Air begitu penting, sebab Endro ingin membawa energi dari masa kecilnya hingga ia tumbuh besar hari ini, menimba air adalah sebuah perjuangan. Seperti Bima, yang tak putus asa untuk mencari air suci Perwitasari.

Muji Harjo, pria yang lahir dan besar di lingkungan Keraton Yogyakarta, namun tampak justru tidak merasa dekat dengan kehidupan Keraton dan sekitarnya. Ia justru tampak apa adanya seperti lelaki yang hidup di alam pedesaan. ‘Adoh Ratu, Cedak Watu’--sebuah peribahasa yang bisa diartikan ‘Orang desa jauh dari Ratu, tapi dekat dengan batu’--jutru tidak berlaku pada Muji Harjo. Ia yang tinggal di kota dan dekat dengan keraton, namun ia malah merasa dekat dengan ‘batu dan alamnya’. Maka tak khayal jika Muji lantas menghadirkan batu-batu dalam bahasa visualnya. Batu-batu yang ia lukiskan pun bukan batu-batu sembarangan, tetapi batu-batu mulia hingga emas dan permata. Semua ditata dalam karyanya dan menghasilkan sebuah fragmen yang indah dan berkilau. Muji di sini cukup jelas, ia ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah perupa yang tegar dan kuat bagai watu kali (batu sungai), yang tak mudah hancur diterpa arus.

Sementara Sigit Raharjo lebih menangkap tanda-tanda dalam realita kehidupan dengan citra realistik fotografis. Tanda-tanda yang dihadirkan Sigit seolah menggugah perasaan kita tentang kehidupan hari ini. Realitas dibidik oleh Sigit, didramatisasikan menjadi pesan-pesan melalui tanda yang terselubung. Tanda yang mengisyaratkan tentang dialektika ruang tentang kehidupan hari ini yang penuh drama yang tak terduga. Dan tentu berpotensi menggugah kesadaran banyak hal yang tak terduga. Persoalan sosial yang dihadikan Sigit melalui tanda, menjadi estetik kasat mata dihadirkan dengan balutan bahasa yang universal. Lukisan Sigit tentu tidak sekedar memainkan kepiawaian tangan secara realis fotografis, secara ambigu ia berani memainkan apa yang ia hadirkan diatas kanvas menjadi sebuah tanda yang sering kali orang abai tak meliriknya.

Pameran kelompok Liquid Colour kali ini, tentu saja tidak sekadar untuk menunjukan reposisi para perupanya, tetapi juga memiliki kekuatan pembacaan bentuk-bentuk formal sebagai pola konstruksi pada tanda-tanda melalui setiap karya yang dipamerkan. Ini semacam wahana estetik yang disuguhkan melalui romantisme perjalanan keempat perupa ini, sekaligus sebagai penanda ideologi dalam seni rupa hari ini.

Selamat berpameran dengan hati gembira...

Bantul, 23 Februari 2022

Yaksa Agus

Penulis alumni FSR ISI Yogyakarta

Blog

Art Exhibition ISI isi 2014

Posted by talentaorganizer on January 30, 2014 at 10:00 AM


 

Isen-isen

Catatan: Suwarno Wisetrotomo

Kata isen-isen lazim digunakan dalam dunia batik atau sungging (hiasan). Isen-isen berasal dari kata “isi” (Jawa; Indonesia). Tetapi makna kata “isi” dalam bahasa Indonesia bisa berarti; 1) kandungan; 2) daya serap; 3) batang tubuh, bunyi, diktum; 4) inti, substansi (Eko Endarmoko, 2007). Karena itu sering kita dengar ungkapan “orang ini berisi” atau dalam bahasa Jawa “uwong iki mentes” (‘e’ diucapkan seperti dalam kata ‘sepi’;); keduanya bermakna “orang yang memiliki kecerdasan, ketajaman batin, dan kearifan”.

Dalam dunia seni batik (juga dalam dunia sungging), istilah isen-isen sangat penting karena memiliki banyak peran dalam keseluruhan motif batik. Isen-isen dari kata  “isi” berarti “isi yang banyak. Ukurannya kecil, jenisnya ada puluhan dan fungsinya ganda. Kadang-kadang isen-isen dimaksudkan untuk menghidupkan atau mempercantik motif-motif utama” (Oetari Siswomihardjo-Prawirohardjo, 2011).  Dalam bukunya, Pola Batik Klasik: Pesan Tersembunyi yang Dilupakan, Oetari juga mengatakan bahwa “Sering pula isen-isen  itu dilukis untuk mengisi bagian-bagian pola yang kosong” (p. 13). Isen-isen bertautan dengan cecek; keduanya berfungsi melengkapi motif utama. Bentuk isen-isen bisa bermacam-macam, misalnya isen-isen cecek yang berarti isian berupa titik-titik, kemudian ada bentuk sisik-melik, sawut, gringsing, galaran, rambutan, rawan, sirapan, atau cacah gori. Seni batik yang demikian rumit dan kompleks – teknik dan maknanya – terus tumbuh dan berkembang dan menjadi sumber inspirasi.

Pameran ini saya beri tajuk “Isen-isen”, karena bagi saya peristiwa ini, seperti pada dunia seni batik, memiliki makna berlapis. Makna pertama, saya membacanya dari aspek sikap para perupa yang terdiri atas lintas usia, lintas pengalaman, lintas selera, lintas komunitas, dan lintas estetik yang bersedia rame-rame berpameran bersama; dengan karya ukuran yang sama (35 x 35 cm). Peristiwa ini dapat dimaknai sebagai kehendak untuk mengisi kekosongan kesenjangan kekerabatan yang cenderung tereduksi, bahkan kadang-kadang berada dalam situasi krisis. Entah disebabkan oleh kesalahmengertian dalam percakapan atau tindakan, sering terjadi polarisasi, lingkaran-lingkaran, dan – sadar atau tidak –  saling memasang pagar. Akibatnya ada yang merasa di dalam (insider), dan ada yang di luar pagar (outsider). Ujungnya, praktik-guyub rukun dan gotong-royong hilang dari pertemanan. Untuk kondisi masyarakat, utamanya di Yogyakarta, itu kerugian sosial yang mahal. Karena di Yogya, selama ini, semua – yang wacana,  yang intelektual, yang artistik, yang guyonan, yang berpengaruh, yang dipengaruhi – bisa saling bertemu dan saling memberdayakan  (bukan mempedaya) tanpa ngasorake (tanpa merendahkan, apalagi mempermalukan pihak lain), dan merasa sugih tanpa bandha (merasa kaya tanpa harta; karena konsep kaya bisa berarti sugih kanca; kaya teman, dan itu berarti jaminan untuk bisa survive dalam hidup dan kehidupan).  Kerenggangan kekerabatan hanya karena salah paham, apalagi berujung pada hasrat saling menista, apalagi saling meniadakan, adalah kebiadaban yang tak pantas dibiarkan.   

Makna kedua, keguyuban ini nyata adanya karena masing-masing menempatkan diri dalam ruang dan lini yang setara (egaliter); tak ada bintang, tak ada yang superior, tak ada yang merasa paling kontemporer (sambil mengolok-olok yang modern), merasa paling modern (sembari tak paham dan sinis dengan yang kontemporer), tak ada yang kuno, tak ada yang modern, karena senyatanya istilah-istilah itu tak penting dan tak ada gunanya bagi kehidupan berkesenian bersama. Setiap pilihan harus dihormati, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh pihak lain.  Mereka, dengan tindakannya yang sederhana ini (berpameran bersama) memilih jalan tengah; tidak sok intelektual, juga tidak sok seniman, juga bukan karena rendah diri (minder). Inilah hidup dan berkesenian; saling menghidupkan dan saling menyenikan. Sebab tak ada gunanya berpintar-pintar dengan pengetahuan, dengan karya-karya yang canggih, tetapi miskin kekerabatan sosial, membatasi dirinya hanya untuk lingkarannya yang kecil, sambil merendahkan orang lain. Juga, semakin tak ada gunanya jika hanya merawat kerendahdirian (bukan kerendahhatian), merawat sikap minder, dan sama sekali tak memiliki kesanggupan untuk bercakap sekadar untuk membela dirinya atas tudingan pihak lain.

Makna ketiga, karya mereka – berjumlah lebih dari 250 karya dari 140 perupa – secara rupa dan bentuk berpotensi menjadi isen-isen; mengisi dinding atau ruang kosong para pencinta seni, mengisi kekosongan hati banyak orang dengan pengalaman seni rupa. Mereka bereksperimen melalui tindakan sederhana: pameran bersama, dengan (harus) berkarya dengan ukuran yang sama, dan saya menduga, mereka memiliki pengalaman yang berbeda. Memiliki teman adalah kekayaan dalam hidup.

Makna keempat, karya-karya 140 perupa ini saya lihat sebagai testing mentalitas setiap perupa dalam proses kreatif berkarya seni rupa. Yang biasa bekerja di bidang kecil, berpikir dan menimbang apakah karyanya dapat merebut mata dan hati para penontonnya. Yang biasa berkarya dengan bidang besar, ia tengah menaklukkan dirinya untuk menghadapi bidang kecil, tanpa kehilangan identitas yang selama ini melekat pada dirinya. Saya memetik kebahagiaan melalui peristiwa dan cara sederhana; melihat karya-karya dalam ukuran yang sama, digubah dengan cara dan selera masing-masing. Di dalam keriuhan itu, saya bertatapan dengan karya Soetopo, Kartika, Djoko Pekik, Subroto Sm, Aming Prayitno, Suwaji, Edi Sunaryo, I Gusti Nengah Nurata, Haris Purnomo, Ivan Sagita, Sarnadi Adam, Dyan Anggraeni, Ipong Purnomo Sidhi, Umbu LP Tangela, Anusapati, Nasirun, Budi Kustarto, Budi Ubrux, Sigit Santoso, Lucia Hartini, Laksmi Shitaresmi, Hedi Hariyanto, Noor Ibrahim, Toni Voluntero, dan lain-lainnya (silahkan simak biodata perupa). Mereka, dengan bahasa dan cara masing-masing, bergumul dengan kesenian, membangun jejaring, merajut kekerabatan, meraih panggung-panggung presentasi di berbagai tempat – nasional, regional, internasional – dengan pencapaian masing-masing.  Semoga kebahagiaan saya ini juga menjadi kebahagiaan para perupa. Apresiasi yang tinggi pantas kita berikan kepada Talenta Organizer yang dengan penuh dedikasi memfasilitasi peristiwa pameran dan disksusi-diskusi yang menyertainya.

Makna kelima, karya-karya berukuran sama ini – seperti mengingatkan para perupanya – meski saling berupaya merebut mata dan hati penontonnya, toh ‘mereka’ – karya-karya itu -  tetap santun di dinding atau di papan (voestuk) masing-masing,  tidak saling merendahkan, tak saling menelikung dan mencederai satu sama lain. Karya-karya itu sangat paham, dirinya memiliki ‘nilai diri’ setimbang dengan ‘harga diri senimannya’.  Di antara mereka, semestinya saling mengisi dan melengkapi.  

Seniman, Politikus, Masyarakat

Dunia politik memang gaduh. Karena jalan politik adalah jalan untuk menuju kekuasaan. Kita semakin sering menyaksikan kegaduhan itu hingga melampaui ambang toleransi. Akibatnya terbentuk persepsi bahwa politik itu diliputi keculasan, kotor, tipu daya, bahkan korup.   Politisi menunjukkan dirinya hanya sebagai si tukang ngomong – mereka ngomong bener atau salah, santun atau tuna etika, nalar atau ngawur – semakin tak jelas dan campur aduk. Jika politik itu jalan menuju kekuasaan, dan kekuasaan itu diabdikan untuk rakyat, maka itulah yang ternyata terus-menerus ditagih oleh rakyat, dan sesungguhnya memang cenderung diingkari. Dengan kata lain, politik adalah permainan untuk dirinya sendiri, atau untuk kroni-kroninya. Masyarakat menjadi obyek yang terus-menerus dirugikan.

Meski tetap masih banyak seniman yang terus bekerja, berprestasi, dengan capaian reputasi yang meyakinkan, namun rupa-rupanya sebagian seniman lainnya terseret arus cara dan gaya politisi yang banyak ngomong untuk kepentingan dirinya, atau lingkarannya. Banyak ngomong, sekaligus tak menunjukkan bukti-bukti karya yang “berguna’ bagi orang lain. Percakapan dan kegiatan seniman terlihat riuh dan gaduh, tetapi tak meninggalkan jejak apapun bagi masyarakat, bahkan juga bagi sesama seniman. Banyak seniman berpuas diri dengan posisi ‘asik sendiri’, sembari ngasorake (merendahkan) pihak lain. Sikap-sikap semacam ini sesungguhnya hanya memperteguh bahwa dirinya adalah pribadi yang keropos.

Akan tetapi membayangkan bahwa guyub rukun itu sama dengan selalu sepakat tanpa perbedaan, tanpa tegangan, tanpa perdebatan, dan tanpa keragaman, adalah naif. Guyub rukun justru bertolak dari kesadaran perbedaan dan keragaman itu. Tetap terjadi perdebatan, tetap terjadi tegangan, namun tetap menjaga kekerabatan, kehormatan, dan kesadaran untuk saling membutuhkan. Bukan mutlak-mutlakan yang berujung pada saling menegasi, lalu ngedumel; kau bukan kelompokku, dan aku bukan kelompokmu. Bahkan firman Allah SWT, “bagimu agamamu, dan bagiku agamaku” (Al Quran; 109: 6, Lakum dinnukum wa liya diin) bukan dimaksudkan untuk saling meniadakan, apalagi dengan kekerasan.  Akan tetapi firman itu sebagai penegas, bahwa untuk urusan agama – yang sesungguhnya urusan setiap pribadi dengan Allah, dengan Tuhan Yang Maha Esa – adalah menempuh jalan sesuai keimanan masing-masing, tanpa harus saling menista (apalagi sedemikian bersemangat saling mengirim ke neraka). 

Seniman atau para perupa mestinya menjadi pionir dan motor penggerak untuk memberikan contoh pada sikap dan perilaku guyub rukun dengan indah; berbeda-beda tetapi sesungguhnya saling membutuhkan dan melengkapi.  Seniman hadir dan bersaksi sebagai pencatat serta perekam zaman. Karya seni hadir untuk memprovokasi kesadaran orang lain (penonton).

Peristiwa kali ini bukan didorong oleh ikatan ideologi yang sama, atau agenda-agenda kritikal lainnya, atau sebagai semacam gerakan pemikiran. Bukan! Bukan karena itu. Peristiwa ini diselenggarakan untuk atas nama kebersamaan, atas nama (sekali lagi) guyub-rukun.  

35 Hingga Tak Terhingga

Sekali lagi, saya gembira menyaksikan peristiwa pameran “Isen-isen” ini. Peristiwa seni rupa yang penuh isi; sebagian dari mereka adalah alumni ISI Yogyakarta, Fakultas Seni Rupa, sebagian kecil lainnya dari sekolah atau perguruan tinggi lainnya. Pengalaman mereka dalam berproses kesenian beragam. Ada yang tangguh sebagai ‘petarung’, naik dan masuk ke berbagai arena ‘pertarungan’ (pemikiran maupun kekuatan karya); ada yang terus bergumul dengan mencari kemungkinan-kemungkinan bentuk, ekspresi, presentasi; ada yang terus menjelajahi pemikiran, bentuk karya, dan kerjasama; ada yang meyakini dengan teguh cara, bentuk, ekspresi yang dipilihnya; dan sebagainya.

Ukuran tiga puluh lima centimeter (35 cm) ditentukan juga bukan ada dasar filosofinya, kecuali bahwa ukuran itu sedang-sedang saja, dan mudah dikemas, serta mudah-mudahan mudah ditata diruang pamer.

Bertolak dari kehendak sederhana, mengkreasi karya dengan format terbatas, pameran ini dapat bermakna tak terhingga, setidaknya bagi para seniman peserta, maupun bagi seniman yang tidak menjadi bagian, juga bagi khalayak ramai. Bagi seniman peserta, inilah – menurut saya – ketika hasrat individu ditekan dan dikelola menjadi energi bersama. Bagi seniman yang tidak menjadi bagian pameran ini, silahkan cemburu dan kemudian berempati, lalu terbangun dari alpa, bahwa membagi ruang personal dengan ruang sosial itu indah. Bagi khalayak penonton tentu akan mendapatkan pengalaman bermacam-macam; seperti variasi bentuk, jenis, corak karya seni rupa; kemudian menjumpai kekerabatan yang indah. Tentu tak sekedar mendapatkan keindahan, tetapi juga memperolah kesadaran kritis. Tengok dan cernati misalnya dua karya M. Agus Burhan, “Menolak Kuasa, Menolak Lupa” (drawing di atas kertas, 2014). Pada karya pertama dapat kita temukan serangkaian teks (tulisan) di sebagian tubuh sang tokoh berupa kata-kata seperti; gugat, gagap, menolak luka, menolak tega, menolak kuasa, menolak tiada, galau menembus diam, menyesal atau kecewa, menggugat yang diam membisu, menolak raja tega, raja lupa. Kemudian pada karya yang lain, terdapat teks yang tersebar, juga di sosok dalam karya itu; bayang-bayang kontemporer, gagap wacana aduh, kuasa modal, raja diam, aduh kolaborasi, dan jalan seni, jalan hidup.  Teks yang tersebar itu saya kira gumam-gumam (juga gugatan) Agus Burhan, tetapi juga mewakili gumam dan gugatan saya atau kita semua terhadap carut-marut praktik dan pemikiran (baik praktik dan pemikiran kesenian, politik, ekonomi, sosial, atau kebudayaan) di negeri kita tercinta ini, dalam skala mikro maupun makro.

Ketakterhinggan lainnya dari peristiwa ini adalah, tumbuhnya kemungkinan yang bisa diperluas dan dipertajam, serta tumbuhnya kesadaran, bahwa sebuah pameran melibatkan kesatuan antara hasrat, kepatuhan pada janji dan permainan, serta penghormatan atau penghargaan pada peran-peran. Meminjam istilah seorang ahli musik Jawa, Martopangrawit, bahwa adanya dua bagian fungsi utama dalam gamelan, yaitu pamangku (yang mendukung atau mengangkat) dan pamurba (yang bertanggungjawab atau mengawasi) (Savitri Scherer, 2012; xiii). Setiap yang terlibat dalam pameran “Isen-isen” ini memiliki peran pamangku dan pamurba sekaligus dalam kapasitas masing-masing. Mari kita “isi” hidup dan kehidupan ini dengan segenap ucapan dan tindakan yang “berisi”. Jika di dalam semesta raya ini diri kita luput menjadi “motif utama”, dan menjadi “isen-isen”, tentu menjadi “isen-isen” yang diharuskan kehadirannya oleh sang “motif utama”, karena keduanya saling mengisi dan memperindah kehidupan.

Kesadaran semacam itu, tentu saja tak hanya  terkait dalam lingkaran sempit dunia kesenian, khususnya seni rupa. Akan tetapi harus menjadi kesadaran yang meluas, yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan klasik di sekitar hubungan seniman dengan masyarakat dan negara, fungsi kesenian bagi kehidupan/masyarakat, termasuk hubungan kesenian dengan religiositas.  Sekali lagi, mari memerindah kehidupan dan semesta raya ini.      

 

(Suwarno Wisetrotomo /Dosen di Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta / Kritikus Seni Rupa)

 

Referensi:

Scherer, Savitri, Keselarasan & Kejanggalan, Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX, Jakarta: Komunitas Bambu, 2012.

Siswomihardjo-Prawirohardjo, Oetari, Pola Batik Klasik: Pesan Tersembunyi yang Dilupakan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

 

 

Categories: art exhibition, painting and sculpture exhibition, pameran lukisan dan patung


Comments are disabled.